Selasa, 29 Desember 2009

Nilai Tukar Uang Dalam Prespektif Islam

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Uang merupakan alat tukar yang digunakan oleh setiap negara khususnya negara Indonesia yang memiliki mata uang resmi yaitu Rupiah yang digunakan berdasarkan pada kesepakatan masyarakat untuk mempergunakannya dan diatur oleh pemerintah dalam undang-undang Nomor 23 tahun 1999 yang telah diamandemen dengan undang-undang nomor 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

Pada undang-undang nomor 24 tahun 2004 tentang lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar, pada undang-undang disebutkan bahwa sistem nilai tukar adalah sistem yang digunakan untuk pembentukan harga mata uang rupiah terhadap mata uang.

Sebelum masuk pada pembahasan mengenai Nilai Tukar Uang Dalam Prespektif Islam, akan lebih baik apabila kita mengenal uang terlebih dahulu.

Dr. Ahmad Hasan mengemukankan pengertian uang di dalam bukunya yang berjudul "Mata Uang Islami Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami" pada halaman 1. Defenisi uang (nuqud) secara bahasa memiliki beberapa makna yaitu :
a. Al-Naqdu yaitu yang baik dari dirham, dikatakan dirmahun naqdun, yakni baik. Ini adalah sifat.
b. Al-Naqdu yaitu meraih dirham, dikatakan naqada al-darahima, yakni meraihnya (menggenggam, menerima)

Menurut beberapa para pakar ahli ekonomi mendefinisikan uang yaitu Dr. Muhammad Zaki Safi'I mendefinisikan uang sebagai "Segala sesuatu yang diterima khalayak untuk menunaikan kewajiban-kewajiban".
Sedangkan J.P Coraward mendefinisikan uang sebagai "Segala sesuatu yang diterima secara luas sebagai media pertukaran, sekaligus berfungsi sebagai standar ukuran nilai harga dan media penyimpanan kekayaan".
Boumul dan Gandlare berkata "Uang mencakup seluruh yang diterima secara luas sebagai alat pembayaran, diakui sebagai alat pembayaran utang-utang dan pembayaran harga barang dan jasa".
Dr. Nazhim al-Syamry berkata : "Setiap sesuatu yang diterima semua pihak dengan legalitas tradisi ('Urf) atau undang-undang atau nilai sesuatu itu sendiri dan mampu berfungsi sebagai media dalam proses transaksi pertukaran yang beragan terhadap komoditi dan jasa, juga cocok untuk menyelesaikan utang-piutang dan tanggungan adalah termasuk dalam lingkup utang".

Bangsa arab pada umumnya tidak mennggunakan kata nuqud untuk menunjukkan harga tetapi mereka menggunakan kata dinar untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas dan dirham untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari perak.

Pertama-tama akan dikemukakan ungkapan-ungkapan fuqaha, kemudian mencoba mengambil kesimpulan definisi uang (nuqud) dari ungkapan mereka, misalnya Abu 'Ubaid (wafaf tahun 224 H) berkata : "Allah menciptakan dinar dan dirham adalah nilai harga sesuatu, sedangkan segala sesuatu tidak bisa menjadi nilai harga bagi keduanya". Iman Ghazali (wafat tahun 505 H) berkata : "Allah menciptakan dinar dan dinar sebagai hakim penengah antara keduanya. Dikatakan unta ini menyamai 100 dinar, sekian ukuran minyak za'faran ini menyamai 100. Keduanya kira-kira sama dengan satu ukuran maka keduanya bernilai sama". Dia juga berkata :"Kemudian disebabkan jual beli muncul kebutuhan terhadap mata uang. Seseorang yang ingin membeli makanan dan baju, dari mana ia mengetahui ukuran makanan dari nilai baju tersebut. Berapa ? jual beli terjadi pada jenis barang yang berbeda-beda seperti dijual baju dengan makanan dan hewan dengan baju. Barang-barang ini tidak sama, maka diperlukan 'hakim yyang adil' sebagai penengah antara kedua orang yang ingin bertransaksi dan berbuat adil satu dengan yang lain. Keadilan itu dituntut dari jenis harta. Kemudian diperlukan jenis harta yang bertaan lama karena kebutuhan yang terus menerus. Jenis harta yang paling bertahan lama adalah barang tambang. Maka dibuatlah uang dari emas, perak dan logam".
Fungsi uang sebagai standar ukuran harga dan unit hitungan, fungsi ini termasuk yang paling utama dan terpenting dari fungsi uang.

Uang adalah standar ukuran harga, yakni sebagai media pengukur nilai harga komoditi dan jasa, dan perbandingan harga setiap komoditas dengan komoditas lainnya. Pada sistem barter sangat sulit untuk mengetahui harga setiap komoditas terhadap komoditas lainnya, demikian juga dengan harga sebuah jasa terhadap jasa-jasa lainnya.

Uang dalam fungsinya sebagai standar ukuran umum harga berlaku untuk ukuran nilai dan harga dalam ekonomi. Misalnya harga sebuah buku Rp. 60.000,- , sewa rumah Rp. 1.500.000,-. demikianlah uang sebagai alat yang mesti diperlukan untuk setiap hitungan dalam ekonomi baik oleh produsen atau konsumen. Tanpa itu, tidak mungkin baginya untuk melakukan perhitungan keuntungan atau biaya-biaya.

Secara umum tidak ada perbedaan di antara ahli ekonomi tentang uang yang harus bersifat tetap secara proposional pada daya tukar sehingga bisa berfungsi maksimal sebagai standar harga ekonomi. Ibnu al-Qayyim dalam pernyataannya : "Dirham dan dinar adalah harga komoditas. Harga adalah suatu ukuran standar yang dengannya bisa ukuran harta. Harus bersifat spesifik dan akurat, tidak naik dan juga tidak turun (nilainya).

Pada kenyataannya itulah yang terjadi dalam interkasi antarmanusia setelah diberlakukannya uang kertas "wajib" yang tidak memiliki daya tukar berkekuatan tetap sehingga berisiko mengalami berbagai kondisi inflasi.

Pada dasarnya kertas uang tidak mengandung nilai pada kertas tersebut. Lembaran-lembaran kertas sebagai bahan baku bernilai lemah. Hanya saja uang kertas ini memiliki penopang dan saldo (deposit) sebagai sumber nillainya dan ini berfungsi sangat penting untuk mencegah penerbitan yang berlebihan terhadap kertas-kertas ini.

Pada makalah ini akan membahas mengenai Nilai Tukar Uang Dalam Prespektif Islam, bagaimana pandangan Islam mengenai nilai tukar uang sedangkan pada kenyataannya lembaran-lembaran kertas bernilai lemah berbeda dengan dirham dan dinar yang mampu dijadikan sebagai standar ukuran.

B. Rumusan Masalah
Sehingga muncul beberapa rumusan masalah terhadap permasalahan tersebut, yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan nilai tukar dan faktor apa saja yang dapat mempengaruhi nilai tukar ?
2. Bagaimana teori nilai tukar mata uang di dalam Islam ?
3. Bagaimana pandangan Islam mengenai nilai tukar uang ?


PEMBAHASAN

A. NILAI TUKAR
Pengertian Nilai Tukar
Nilai tukar mata uang atau Exchange Rates yang sering disebut dengan kurs pada dunia perbankan syari'ah dikenal dengan sharf adalah harga satu unit mata uang asing dalam mata uang domestik atau dapat juga dikatakan harga mata uang domestik terhadap mata uang asing.

Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH di dalam bukunya yang berjudul Perbankan Syari'ah dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, pada halaman 87-88, mengemukakan bahwa arti harfiah dari sharf adalah penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan, atau transaksi jual beli. Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing (valuta asing), dapat dilakukan baik dengan sesama mata uang sejenis (misalnya rupiah dengan rupiah) maupun yang tidak sejenis (misalnya rupiah dengan dollar atau sebaliknya).

Ulama fikih mendefinisikan sharf adalah sebagai memperjualbelikan uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis. Dalam literatur fikih klasik, pembahasan ini ditemukan dalam bentuk jual beli dinar dengan dinar, dirham dengan dirham, atau dinar dengan dirham. Seorang ahli fikih dari mesir Syauqi Isma'il Syahatah menyatakan bahwa satu dinar bernilai 4,51 gram emas. Pendapat lain dari jumhur ulama menyatakan bahwa satu dinar adalah 12 dirham dan menurut ulama Mazhab Hanafi bernilai 10 dinar.

Adiarman A. Karim di dalam bukunya yang berjudul Ekonomi Makro Islam pada hal. 157 mengemukakan Exchange Rates (nilai tukar uang) atau yang lebih populer dikenal dengan sebutan kurs mata uang adalah catatan (quotation) harga pasar dari mata uang asing (foreign currency) atau resiprokalnya, yaitu harga mata uang domestik dalam mata uang asing. Nilai tukar uang merepresentasikan tingkat harga pertukaran dari suatu mata uang ke mata uang yang lainnya dan digunakan dalam berbagai transaksi, antara lain transaksi perdagangan internasional, investasi internasional dll.

Pada masa sekarang, bentuk jual beli ini banyak dijumpai dilakukan oleh bank-bank devisa atau para money changer.

Sebagai contoh nilai tukar (NT) Rupiah (Rp) terhadap Dolar Amerika (USD) adalah harga satu dollar Amerika dalam Rupiah (Rp). Atau dapat juga diartikan sebaliknya diartikan harga satu Rupiah terhadap satu USD.
Apabila nilai tukar didefinisikan sebagai nilai Rupiah dalam valuta asing dapat diformulasikan sebagai berikut :
NTIDR/USD = Rupiah yang diperlukan untuk membeli 1 dolar Amerika
NTIDR/YEN = Rupiah yang diperlukan untuk membeli satu Yen Jepang

Dalam hal ini, apabila NT meningkat maka berarti Rupiah mengalami depresiasi, sedangkan apabila NT menurun maka Reupah mengalami apresiasi. Sementara untuk sesuatu negara menerapkan sistem nilai tukar tetap, perubahan nilai tukar dilakukan secara resmi oleh pemerintah. Kebijakan suatu negara secara menaikkan nilai mata uangnya terhadap mata uang asing disebut revalusi, sementara kebijakan menurunkan nilai mata uang terhadap mata uang asing tersebut devaluasi.

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pengertian tersebut diberikan contoh sebagai berikut. Misalnya, nilai tukar satu dollar Amerika (USD) terhadap mata uang Rupiah sebesar Rp. 8.500,-. Apabila nilai tukar satu USD berubah menjadi Rp. 9.000,-, maka nilai tukar rupiah mengalami penurunan atau depresiasi. Sebaliknya apabila nilai tukar 1 USD berubah menjadi sebesar Rp. 8.000,-, maka nilai tukar rupiah mengalami peningkatan atau apresiasi.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Tukar
Dalam sistem nilai tukar tetap, mata uang lokal ditetapkan secara tetap terhadap mata uang asing. Sementara dalam sistem nilai tukar mengambang, nilai tukar atau kurs dapat berubah-ubah setiap saat, tergantung pada jumlah penawaran dan permintaan valuta asing relatif terhadap mata uang domestik. Setiap perubahan dalam penawaran dan permintaan dari suatu mata uang akan mempengaruhi nilai tukar mata uang yang bersangkutan. Dalam hal permintaan terhadap valuta asing relatif terhadap mata uang domestik meningkat, maka nilai mata uang domestik akan menurun. Sebaliknya jika permintaan terhadap valuta asing menurun, maka nilai mata uang domestik meningkat. Sementara itu, jika penawaran valuta asing meningkat relatif terhadap mata uang domestik, maka nilai tukar mata uang domestik meningkat. Sebaliknya jika penawaran menurun, maka nilai tukar mata uang domestik menurun.

Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi permintaan valuta asing, yaitu :

1. Faktor pembayaran impor
Semakin tinggi impor barang dan jasa, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga nilai tukar akan cenderung melemah. Sebaliknya, jika impor menurun, maka permintaan valuta asing menurun sehingga mendorong menguatnya nilai tukar.

2. Faktor aliran modal keluar
Semakin besar modal keluar, maka semakin besar permintaan valuta asing dan pada lanjutannya akan melemah nilai tukar uang. Aliran modal keluar meliputi pembayaran hutang penduduk Indonesia (baik swasta dan pemerintah) kepada pihak asing dan penempatan dana penduduk Indonesia ke luar negeri.

3. Kegiatan spekulasi
Semakin banyak kegiatan spekulasi valuta asing yang dilakukan oleh spekulannnnn maka semakin besar nilai permintaan terhadap valuta asing sehingga memperlemah nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing.

Sementara itu, penawaran valuta asing dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu :
1. Faktor penerimaan hasil ekspor
Semakin besar volume penerimaan ekspor barang dan jasa, maka semakin besar jumlah valuta asing yang dimiliki oleh suatu negara dan pada lanjutannya nilai tukar terhadap mata asing cenderung menguat atau apresiasi. Sebaliknya jika ekspor menurun, maka jumlah valuta asing yuang dimiliki menurun sehingga nilai tukar juga cenderung mengalami depresiasi.

2. Faktor aliran modal masuk
Semakin besar aliran modal masuk, maka nilai tukar akan cenderung semakin menguat. Aliran modal masuk tersebut dapat berupa penerimaan hutang luar negeri, penempatan dana jangka pendek oleh pihak asing (Portofolio invesment)dan investasi langsung pihak asing (foreign direct invetment)

B. TEORI NILAI TUKAR MATA UANG DI DALAM ISLAM
Mengenai nilai tukar menurut Islam akan dipakai dua skenario, yaitu :

1. Skenario 1 : terjadi perubahan-perubahan harga di dalam negeri yang mempengaruhi nilai tukar uang.
2. Skenario 2 : terjadi perubahan-perubahan harga di luar negeri

Kebijakan nilai tukar uang dalam Islam menganut sistem Managed Floating yaitu dimana nilai tukar adalah hasil dari kebijakan-kebijakan pemerintah karena pemerintah tidak mencampuri keseimbangan yang terjadi di pasar kecuali jika terjadi hal-hal yang menganggu keseimbangan itu sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa suatu nilai tukar yang stabil merupakan hasil dari kebijakan pemerintah yang tepat
Nilai tukar mata uang di dalam Islam dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu :

1. Natural
2. Human Error

Untuk lebih memudahkan berikut akan dicontohkan nilai tukar mata uang dalam Islam, mata uang dalam negeri Rupiah (IDR) dan mata uang asing Singapuran (SGD).
1. Perubahan Harga Terjadi di Dalam Negeri
a. Natural Exchange Rate Fluctuation
1). Fluktuasi nilai tukar uang akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi pada Permintaan Agregatif (AD). Permintaan Agregat adalah jumlah pembelanjaan atau pengeluaran yang diinginkan yang meliputi pengeluaran yang diinginkan yang meliputi konsumsi rumah tangga. Ekspansi AD akan mengakibatkan naiknya harga secara keseluruhan. Jika harga dala negeri naik sedangkan harga di luar negeri tetap maka nilai mata uang akan mengalami depresiasi (menurun), dan sebaliknya jika AD mengalami kontraksi maka tingkat harga akan mengalami penurunan yang mengakibatkan nilai tukar mengalami apresiasi.

2). Fluktuasi nilai tukar uang akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada Penawaran Agregatif (AS). Apabila Penwaran Agregatif mengalami kontraksi berakibat naiknya tingkat harga secara keseluruhan, yang mengakibatkan nilai tukar mengalami depresiasi. Sebaliknya jika Penawaran Agregatif mengalami ekspansi berakibat pada turunnya tingkat harga secara keseluruhan maka nilai tukar akan mengalami apresiasi.

b. Human Error Exchange Rate Fluctuation
1) Corruption and bad Administration
Korupsi dan administrasi yang buruk akan mengakibatkan naiknya harga yang terjadi akibat mark-up yang tinggi, sehingga produsen harus menutupi biaya-biaya dalam produksinya. Akibatnya tingkat harga mengalami kenaikan. Yang berakibat naiknya tingkat harga sehingga nilai tukar uang mengalami depresiasi.

2) Excessive Tax
Pajak penjualan yang sangat tinggi yang dikenakan pada barang dan jasa sehingga akan meningkatkan harga jual dari barang dan jasa. Secara agregatif tingkat harga akan mengalami kenaikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat pajak yang sangat tinggi akan mengakibatkan nilai tukar uang mengalami depresiasi.

3) Excessive Seignorage
Pencetak full-bodied money atau 100% reserve money tidak akan mengakibatkan terjadinya inflasi. Namun jika uang yang dicetak selain dari kedua jenis itu, akan menyebabkan kenaikan tingkat harga secara umum. Sehingga pencetakan uang secara berlebihan akan menimbulkan efek atau melebihi kebutuhan sector riil yaitu kenaikan harga secara keseluruhan atau inflasi. Jika tingkat harga dalam negeri mengalami kenaikan sementara tingkat harga luar negeri tetap maka nilai tukar uang akan mengalami depresiasi.

2. Perubahan Harga Terjadi di Luar Negeri
Pada bagian ini diasumsikan bahwa di dalam negeri tidak terjadi perubahan-perubahan harga yang mengganggu nilai tukar uang. Perubahan harga yang terjadi di luar negeri bias digolongkan karena dua sebab yaitu :

a. Non-Engineered/Non-Manipulated Changes
Disebut Non-Engineered/Non-Manipulated Changes adalah karena perubahan yang terjadi bukan disebabkan oleh manipulasi (yang dimaksudkan untuk merugikan) yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Misalkan jika Bank Sentral Singapura (BSS) mengurangi jumlah uang USG yang beredar. Hal tersebut mengakibatkan IDR terdepresiasi, dikarenakan hal tersebut maka Bank Indonesia akan menghilangkan efek ini dengan menjual USG yang dimilikinya, baik dengan cara sterilized intervention maupun dengan cara unsterilized intervention.

Engineered / Manipulated Changes
Disebut sebagai Engineered / Manipulated Changes adalah karena perubahan yang terjadi disebabkan oleh manipulasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang dimaksudkan untuk merugikan pihak lain. Misalnya paran fund manager di Singapura melepas IDR yang dimilikinya sehingga terjadi “banjir rupiah”. Yang mengakibatkan nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi secara tiba-tiba atau drastis di luar perkiraan BI. Tindakan fund manager Singapura menimbun IDR dan melepaskannya untuk mengambil keuntungan dari fluktuasi nilai tukar IDR, dan hal ini sangat dilarang oleh Islam, hal ini disebabkan :

a. Termasuk dalam katagori Ikhtikar yaitu adanya rekayasa penawaran untuk mengambil keuntungan di atas keuntungan normal tanpa rekayasa). Apabila hal ini terjadi pemerintah harus menetapkan sistem nilai tukar dipagu secara temporer (semetara) untuk mencegah dari tindakan yang dapat merugikan.

b. Mengambil keuntungan dari fluktuasi nilai tukar Rupiah, hal ini dilarang karena termasuk dalam katagori Ba'i Najasy yaitu rekayasa permintaan untuk mengambil keuntungan diatas keuntungan normal tanpa adanya rekayasa. Apabila hal ini dibiarkan akan berakibat nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi, sehingga akan mengakibatkan ducking effect yaitu akan munculnya opini bahwa Rupiah akan melemah pada masa mendatang. Untuk mengatasi permasalahan ini, maka Bank Indonesia harus menetapkan suatu nilai tukar tetap secara temporer.

C. PANDANGAN ISLAM TERHADAP NILAI TUKAR UANG
1. Dasar Hukum nilai tukar atau kurs
Ulama fikih menyatakan bahwa dasar diperbolehkannya penjualan mata uang berdasarkan pada sabda Rasulullah saw...."(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, anggur dengan anggur, apabila satu jenis harus sama (kualitas dan kuantitasnya dan dilakukan) secara tunai. Apabila jenisnya berbeda, maka jualah dengan kehendakmu dengan syarat secara tunai" (HR. Jama'ah). Dalam riayat Ibnu Umar dikatakan : "Jangan kamu memperjual belikan emas dengan emas dan perak dengan perak, kecuali sejenis, dan jangan pula kamu memperjual belikan perak dengan emas yang salah satunya gaib (tidak ada tempat) dan yang lainnya ada" (HR. Jama'ah).
Lalu, bagaimana dengan mata uang kertas ? hal ini tentu saja menjadi pertanyaan besar. Telah disinggung sebelumnya dalam peredaran di pasar mata uang kertas wajib telah telah mengambil fungsi emas dan perak, sehingga ia menjadi satu-satunya satuan hitungan dan sarana perantara dalam tukar menukar. Dengan demikian, mata uang kertas menjadi niali harga sebagaimanahalnya emas dan perak. Oleh sebab itu hukum tukar menukar uang kertas sama halnya dengan emas dan perak.
Dengan demikian, beberapa hal yang telah disampaikan oleh ahli fikih mengenai tukar menukar antara emas dengan emas, atau perak dengan perak atau bersilang emas dengan perak. Juga diberlakukan terhadap penjualan mata uang kertas.

2. Syarat sahnya nilai tukar uang
Menurut ulama fikih, persyaratan yang harus dipenuhi dalam jual beli mata uang adalah sebagai berikut :

1). Nilai tukar yang diperjualbelikan harus telah dikuasi, baik dikuasai oleh pembeli maupun oleh penjual, sebelum keduanya berpisah badan. Penguasaan tersebut dapat berbentuk penguasaan secara material maupun secara hukum. Penguasaan secara material, misalnya pembeli yang bermaksud membeli dollar Amerika dengan Rupiah, maka pembeli langsung menerima uang tersebut begitu juga halnya dengan penjual. Adapun penguasaan secara hukum, misalnya pembayaran yang dilakukan dengan menggunakan cek. Adapun para ulama menjadikan hal ini sebagai syarat sah nilai tukar uang untuk menghindari terjadi Riba an-Nasi'ah yaitu penambahan pada salah satu alat tukar. Apabila keduanya berpisah sebelum menguasai masing-masing uang penukaran berdasarkan nilai tukar yang diperjualbelikan, maka menurut mereka, akadnya batal karena syarat dari transaksi tersebut tidak terpenuhi. Dan tidak boleh menunda pembayaran salah satu antara keduanya, jika tidak maka hukumnya tidak sah. Adapu larangan tersebut berdasarkan pada hadist Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra : "Emas dengan emas, perak dengan perak, sama rata, tangan ke tangan (kontan)".
Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri, bahwasanya Rasulullah saw bersabda : "Janganlah kalian menjual emas dengan emas, kecuali sama rata, dan jangan melebihkan salah satu antara keduanya. Dan janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali sama rata, dan janganlah kalian melebihkan salah satu antara keduanya. Dan janganlah kalian menjual - emas dan perak - yang telah ada dengan yang belum ada".
Sehingga munculah interpretasi mengenai pisah badan (al-iftiraq), yaitu :
1. Menurut jumhur ulama, seperti ulama hanafi, safi'i dan hambali al-iftiraq ialah apabila kedua belah pihak telah meninggalkan tempat transaksi, misalnya yang satu ke arah timur dan yang satu kearah barat, atau salah satunya telah meninggalkan tempat tersebut, sementara yang satunya masih belum beranjak dari tempat transaksi. Apabila kedua belah pihak meninggalkan tempat transaksi untuk menuju ke bank kemudian pada saat itu terjadi serah terima, maka transaksi tersebut hukumnya sah. Hal ini berdasarkan ketika Umar bin Khattab meriwayatkan sebuah hadis, lalu beliau berkata kepada Thalhah: "Demi Tuhan...! jangan kamu tinggalkan orang itu sebelum menerima sesuatu darinya". Nash ini menunjukkan bahwa yang menjadi standar al-iftiraq adalah pisah badan.
2. Ulama Maliki berpendapat bahwa al-iftiraq (pisah) badan tidak menjadi ukuran sah atau tidaknya suatu transaksi. Akan tetapi yang menjadi ukuran adalah serah terima harus dilakukan ketika pengucapan ijab dan qabul berlangsung. Artinya, jika serah terima dilakukan setelah ijab dan qobul, maka transaksi tersebut hukumnya tidak sah, sekalipun kedua belah pihak belum berpisah badan. Pendapat ini berdasarkan sabda Rasulullah saw :"emas dengan emas adalah riba, kecuali ha wa ha (ucapan ambil dan bayar)". Nash ini menunjukkan bahwa serah terima dilakukan seketika.

2). Apabila mata uang atau valuta yang diperjualbelikan itu dari jenis yang sama, maka jual beli itu harus dilakukan dengan mata uang sejenis yang kualitas dan kuantitasnya sama disyaratkan at-Tamatsul dan diharamkan at-Tafadhul, Misalnya menukar mata uang Rupiah sebesar Rp. 50.000,- ditukar dengan uang Rupiah lembaran Rp. 5.000,- sebanyak 10 lembar, dan tidak diperbolehkan menukar dengan Rp. 50.100,- . adapun jika dengan jenis yang berbeda, misalnya menukar mata uang Rupiah dengan mata uang dollar Amerika, maka tidak disyaratkan at-Tamatsul.

3) Apabila terdapat khiyar syarat pada akad kurs (sharf), baik dari salah satu pihak ataupun dua belah pihak maka menurtu jumhur ulama transaksi tersebut hukumnya menjadi tidak sah. Yang dimaksud dengan khiyar syarat adalah hak bagi pembeli untuk dapat melanjutkan jual beli mata uang tersebut setelah selesai berlangsungnya jual beli yang terdahulu atau tidak melanjutkan jual beli itu, yang syarat itu diperjanjikan ketika berlangsungnya transaksi terdahulu tersebut. Hal ini tentu saja tidak diperbolehkan untuk menghindari riba selain itu membuat hukum akad jual beli menjadi belum tuntas, dan karena hal ini akan muncul kendala untuk kepemilikan sempurna dan dapat mengurangi makna kesempurnaan serah terima. Berbeda dengan khiyar ru'yah yaitu hak bagi pembeli untuk untuk membatalkan jual beli ketika pembeli melihat barang yang akan dibeli, sedangkan ketika akad berlangsung ia belum melihat barang tersebut sama sekali. Dan khiyar 'aib yaitu hak pilih bagi pembeli untuk membatalkan akad jual beli karena adanya cacat tersembunyi pada barang yang akan dibeli. Kedua bentuk khiyar ini tidak menimbulkan hal-hal yang dilarang syara' (hukum Islam) karena tidak menghambat kepemilikan dan penguasaan terhadap objek jual beli. Oleh sebab itu, apabila salah satu pihak menggunakannya, maka kurs (sharf)akan tetap sah hukumnya.

4). Dalam akad kurs atau sharf tidak diperbolehkan adanya tenggang waktu antara penyerahan mata uang yang saling dipertukarkan, karena sahnya kurs atau sharf penguasaan obejek akan dilakukan secara tunai atau penjualan dan pembeliannya harus dilakukan secara tunai dan tidak boleh diutang. Penyerahan mata uang tersebut harus dilakukan sebelum kedua belah pihak berpisah badan. Namun apabila salah satu dari kedua belah pihak mensyaratkan tenggang waktu atau terdapat penundaan dalam pembayaran, maka hal ini aka menyebabkan akad kurs menjadi tidak sah, baik dilakukan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak, karena penundaan bertolak belakang dengan serah terima, hal inilah ulama sepakat mengatakan transaksi tersebut tidak sah, apabila hal ini terjadi maka akan ada penanguhan pemilikan penguasaan ojek akad kurs yang saling dipertukarkan. Terlepas, apakah penukaran tersebut antara uang kertas yang sejenis (Rupiah dengan rupiah) maupun denga mata uang yang berbeda (rupiah dengan dollar Amerika dsb)
menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa yaitu seorang ahli fikih ada dua syarat terakhir terkait erat dengan syarta pertama. Hal ini menyebabkan munculnya beberapa akibat hukum yang ditimbulkan oleh penguasaan objek akad secara tunai tersebut.

1). Ibra yaitu pengguguran hak atau hibah. Apabila seseorang menjual dollar dengan rupiah, kemudian setelah pembeli menerima uang dollarnya. Penjual menyatakan ibra yaitu menghilangkan haknya (rupiah dan pembeli), maka hal ini terdapat dua kemungkinan, yaitu :
a. Apabila pembeli menerima ibra atau hibah tersebut, maka gugurlah kewajibannya untuk menyerahkan rupiah sebagai alat untu membeli dollar tersebut, dan akad kurs pun menjadi batal. Hal ini dikarenakan salah satu objek kurs tidak bisa dikuasai, sehingga syarat akad kurs tidak terpenuhi.
b. Apabila pembeli tidak mau menerima ibra atau hibah tersebut, maka ibra atau hibahnay menjadi tidak sah. Sedangkan hukum kusrnya tetap berlaku. Artinya, pihak pembeli wajib menyerahkan uang rupiahnya untuk membayar doar tersebut. Namur jika penjual penjual enggan atau tidak mau untik menerima haknya tersebut, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa ia harus dipaksa menerimanya.

2). Apabila salah satu pihak memberikan sesuatu yan melebihi kewajibannya dalam penukaran objek sharf, menurut ulama fikih hal ini tidak diperbolehkan, karena hal ini termasuk ke dalam riba.

3). Apabila terjadi pengalihan utang lepada orang lain (hiwalah), misalnya salah satu pihak menunjuk orag lain untuk menerima dan menguasai objek kurs secara langsung di majlis akad, menurut ulama fikih, hukumnya diperbolehkan karena penguasaan terhadap kurs tersebut telah memenuhi syarat secara sempurna. Hukumnya pun akan menjadi sama ketika dalam menerima dan menguasai objek sharf yang menjadi salah satu pihak dilakukan melalui seorang kaki yait penangguang jawab hutang.

4). Tejadi saling pengguguran hak atau utang (Al-Muqasah. Misalnya seseorang menjual uang US$106 kepada pembeli denga harga Rp.220.000,-. Tetapi penjual tidak menerima uang sejumlah tersebut. Dalam kasus yang seperti ini, apabila keberadaan utang penjual itu sebelum akad sharf, maka menurut jumhur ulama, hukumnya boleh bila disetujui oleh kedua belah pihak. Akan tetapi pendapat lain yang dikemukakan oleh Zufar bin Qais (728-775), ulama mazhab fikih menyatakan hal tersebut tidaklah sah, hal ini dikarenakan unsur penguasaan kurs tidak nyata dan tidak terpenuhi. Namun apabila utang tejadi setelah akad kurs, misalnya pejual menarik kembali uangnya secara paksa dan mengklaimnya sebagai utang kepada pembeli, maka menurut ulama fikih nazhab Habafi, seperti Imam Sarakhsi (ahli usul fikih), akad kurs menjadi tidak sah, karena pengguguran hak atau utang hanya berlaku bagi hak utang yang telah ada. Berbeda dengan pendapat tersebut, kebanyakan para ahli fikih membolehkan pengguguran hak atau utang dalam akad kurs, seperti yang tersebut di atas, dengan cara memperbaharui akad sharf , karena pada dasarnya akad kurs/sharf telah batal akibat tidak terpenuhinya objek kurs/sharf, dengan pembayaran yang dilakukan melalui cara saling menggugurkan hak atau utang sesuai dengan kesepakatan yangtelah diambil oleh kedua belah pihak.

4. Pendapat-pendapat lain mengenai nilai tukar uang dalam prespertif Islam
a. Siti Rahayu, E mengemukakan pendapatnya mengenai pertukaran mata uang (foreign exchange) dalam perspektif hukum Islam bahwa uang memiliki peranan yang sangat penting dalam semua aktivitas manusia. Uang muncul karena sistem barter ternyata banyak menimbulkan kesukaran. Perbedaan sistem ekonomi yang berlaku akan memiliki pandangan yang berbeda mengenai uang. Dalam sistem ekonomi Islam uang bukan modal, uang adalah sesuatu yang mengalir serta merupakan barang publik. Islam melarang menumpuk uang serta tidak menggunakannya untuk kegiatan ekonomi (produksi). Fungsi utama uang adalah sebagai alat tukar dan pengukur nilai suatu barang maupun jasa. Uang dapat berupa logam maupun bukan logam tetapi harus berstandarkan pada logam mulia (emas) untuk menjaga kestabilan nilai uang. Guna mempermudah transaksi pembayaran internasional, Islam memperbolehkan pertukaran mata uang (sharf) dengan syarat untuk mata uang yang sejenis berat timbangan atau nilai uang harus sama sedangkan untuk mata uang yang tidak sejenis boleh suka sama suka tetapi harus secara kontan, serah terima dalam satu majelis, ada nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi berlangsung, serta tidak untuk spekulasi.

b. Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH; Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum Islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara.
Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai.
Hukum Islam dalam transaksi valas, harus memenuhi hala-hal sebagai berikut :1. Ada Ijab-Qobul yaitu adanya perjanjian untuk memberi dan menerima, yaitu :
a. Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai.
b. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan.
c. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat).
2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu:
a. Suci barangnya (bukan najis)
b. Dapat dimanfaatkan
c. Dapat diserahterimakan
d. Jelas barang dan harganya
e. Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya
f. Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan.

c. Sebagian umat Islam ada yang meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka seperti valas ayitu tukar menurak uang baik sesama uang domestik maupun mata uang domestik dengan mata uang asing. Sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah “Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu,".
Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang terus berkembang dengan perubahan-perubahannya.
Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut. Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al Qur’an,sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada.
Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu akad. “Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak adanya barang, melainkan garar (penipuan),” ujar Dr. Syamsul Anwar, MA dari IAIN SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang. Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan oleh yang bersangkutan.
Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya sudah ada tapi karena satu dan lain hal tidak mungkin diserahkan kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah.
Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan. Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya. Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan, satu hal yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional.
Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa’il almu’ashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti.
Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa’I la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai; tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad.
Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-a’yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik; bukan dalam alam pemikiran atau alam idea.
Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl.
Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas.
Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 32/1977 tentang PBK.
Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay’ al-salam’ajl bi’ajil.
Bay’ al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay’ ajl bi’ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra’s al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad”.
Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut:
a) Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay’ al-salam adalah:
Pihak-pihak pelaku transaksi (‘aqid) yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih.
Objek transaksi (ma’qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ra’s al-mal al-salam dan al-muslim fih).
Kalimat transaksi (Sighat ‘aqad), yaitu ijab dan kabul. Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi’iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa ‘aqd al-salam adalah bay’ al-ma’dum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (buy).
b) Syarat-syarat
Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (an yakun fi jinsin ma’lumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupiah atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, pond, dst.
Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-’aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi.
Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya telah dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau legal maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya.
Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay’ al-salam.



KESIMPULAN

Uang merupakan alat tukar yang digunakan oleh setiap negara khususnya negara Indonesia yang memiliki mata uang resmi yaitu Rupiah yang digunakan berdasarkan pada kesepakatan masyarakat untuk mempergunakannya dan diatur oleh pemerintah dalam undang-undang Nomor 23 tahun 1999 yang telah diamandemen dengan undang-undang nomor 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
Nilai tukar mata uang atau Exchange Rates yang sering disebut dengan kurs pada dunia perbankan syari'ah dikenal dengan sharf adalah harga satu unit mata uang asing dalam mata uang domestik atau dapat juga dikatakan harga mata uang domestik terhadap mata uang asing.
Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi permintaan valuta asing, yaitu :
1. Faktor pembayaran impor
2. Faktor aliran modal keluar
3. Kegiatan spekulasi
Ulama fikih menyatakan bahwa dasar diperbolehkannya penjualan mata uang berdasarkan pada sabda Rasulullah saw...."(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, anggur dengan anggur, apabila satu jenis harus sama (kualitas dan kuantitasnya dan dilakukan) secara tunai. Apabila jenisnya berbeda, maka jualah dengan kehendakmu dengan syarat secara tunai" (HR. Jama'ah).
Uang kertas telah telah mengambil fungsi emas dan perak, sehingga ia menjadi satu-satunya satuan hitungan dan sarana perantara dalam tukar menukar. Dengan demikian, mata uang kertas menjadi niali harga sebagaimanahalnya emas dan perak. Oleh sebab itu hukum tukar menukar uang kertas sama halnya dengan emas dan perak.
Dengan demikian hukum kurs atau sharf manjadi halal apabila memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.


DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Ahmad. Mata Uang Islami Telaah Komprehensif Sistem Keuangan Islami. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta 2005

Sjahdeni, Sutan Remy. Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. PT Pustaka Utama Grafiti. Jakarta 2007

Simorangkir, Iskandar dan Suseno. Sistem dan Kebijakan Nilai Tukar. Pusat Pendidikan dan Studi Kebangsentralan. Jakarta 2004

A. Karim, Adiwarman. Ekonomi Makro Islam. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta 2008

http://www.wikamaha.com

http://digilib.uns.ac.id